
Jiwa Entrepreneurship
Mengapa kami diajarkan entrepreneurship? Bukankah kami berprofesi sebagai karyawan?
Begitu dua pertanyaan besar yang muncul di sesi pelatihan entrepreneurship untuk para manager di salah satu perusahaan. Sekilas, pertanyaan tersebut wajar saja muncul. Mungkin bagi sebagian besar mereka, yang menjadi karyawan atau profesional di perusahaan, materi tersebut kurang cocok. Toh, mereka bukan entrepreneur, bukan wirausaha, dan tidak sedang memasuki masa pensiun untuk menjadi entrepreneur.
Di sisi lain, saya salut pada manajemen perusahaan tersebut, yang merasakan jiwa entrepreneur manager-manager mereka kurang, dan cenderung menjalankan business as usual. Seolah-olah, situasi yang dihadapi saat ini sama saja dengan situasi lima atau sepuluh tahun yang lalu. Padahal, sebagai manager mereka memegang anak buah yang tidak sedikit. Ada yang membawahi lima orang, ada yang sepuluh orang, bahkan ada yang hingga lima puluh orang. Bila di tataran manager pun mereka menjalankan pola pikir “seperti biasa”, mudah dibayangkan anggota tim yang berada di bawah mereka. Sedikit banyak, pasti akan punya pola pikir serupa. Atau bisa jadi, bila ada anggota tim yang kreatif dan punya semangat entrepreneur, justru manager-manager itulah yang akan menjadi penghalangnya!
Pada saat saya bertanya kepada peserta pelatihan di atas, apa sebenarnya yang dimaksud dengan entrepreneurship, sebagian besar di antara mereka menjawab: menjalankan bisnis. Tak kurang banyaknya memberikan jawaban: berdagang atau berjualan. Jawaban terbesar ketiga berkisar sekitar: cara mendapatkan uang dengan cepat, money-maker, cuan. Beberapa sambil becanda menjawab, “Entrepreneurship adalah mereka yang mendapatkan cuan dengan rebahan….”
Entrepreneurship sebagai Mindset
Secara umum, entrepreneurship didefinisikan sebagai usaha untuk menciptakan atau mengembangkan sebuah bisnis dengan mengambil resiko yang ada. Dari pengertian ini, sebenarnya mereka yang menjalankan profesi sebagai karyawan atau sebagai profesional pun dapat mengadopsi semangat entrepreneurship. Di setiap bisnis, dalam industri apapun, selalu saja ada unsur penciptaan bisnis, pengembangan bisnis, atau pengambilan resiko. Menduduki jabatan apapun, sebagai karyawan, supervisor, manager, leader, tentu familiar dengan hal-hal di atas. Kecuali, kalau mereka hanya berniat untuk menunggu perintah atasan dan menjalankan tugas saja setiap hari. Masuk tepat waktu, pulang tepat waktu, dan setiap bulan terima gaji, tanpa ada inisiatif kerja dan produktivitas yang tinggi.
Saya yakin, Anda semua bukan seperti itu.
Begitu Anda punya target-target pengembangan bisnis setiap tahun, setiap bulan, setiap minggu, bahkan setiap harinya, maka entrepreneurship sudah menyatu dengan diri Anda. Begitu Anda merasa bertanggung jawab terhadap peran yang Anda jalankan di perusahaan, entrepreneurship menjadi miliki Anda. Dan begitu Anda mempunyai sense of belonging terhadap perusahaan tempat Anda bekerja, maka mindset Anda sedikit banyak sudah menjadi mindset entrepreneur.
Keberanian mengambil resiko, memang menjadi hal yang tidak mudah bagi banyak profesional di perusahaan. Ada ketakutan terhadap lingkungan, kalau-kalau nanti dicibir, di-bully, atau bahkan direndahkan oleh teman-teman di kantornya sendiri, saat mencoba untuk mengambil inisiatif baru atau mengambil resiko. Di beberapa perusahaan besar, malah ada hambatan-hambatan proses bisnis atau SOP, yang tidak memberikan ruang besar untuk mengambil resiko. Belum lagi, konsekuensi-konsekuensi lain yang mungkin diterima oleh profesional yang ingin mempunyai jiwa entrepreneurship.
Tetapi, justru dalam situasi-situasi itulah, jiwa entrepreneurship Anda bisa diolah, dilatih, dan dibangkitkan!
Richard Branson, CEO Virgin Group dengan 400 perusahaan yang bergerak di bidang travelling, hiburan dan gaya hidup, mengatakan keberanian adalah hal pertama yang perlu dimiliki oleh seorang entrepreneur. Tanpa keberanian, tak ada yang namanya entrepreneurship. Termasuk di dalamnya adalah keberanian untuk mengambil resiko.
Entrepreneurship untuk Mengelola Perubahan
Entrepreneurship menjadi lebih dibutuhkan di situasi saat ini, dimana perubahan-perubahan atau disrupsi terjadi dimana-mana. Badai perubahan ini menimpa semua perusahaan, entah perusahaan besar atau kecil. Entah perusahaan multinasional ataupun family business. Pandemi Covid-19, yang menyusul setelah adanya disrupsi teknologi, membuat perubahan tersebut semakin menjadi-jadi.
Perubahan-perubahan itu, membuat pelaku bisnis tidak dapat lagi menggunakan cara-cara lama untuk mengatasi persoalan-persoalan baru. Langkah pertama untuk mengatasi persoalan-persoalan baru, seperti yang dikatakan oleh Albert Einstein, adalah mempunyai pola pikir yang baru. Begitu kita mempunyai pola pikir yang baru, lebih mudah bagi kita untuk mengakuisisi keterampilan-keterampilan baru. Dan pola pikir yang perlu dimiliki oleh setiap pelaku bisnis atau profesional di saat ini, adalah pola pikir, semangat, dan jiwa entrepreneur.
Menjadi entrepreneur, artinya menjadi pribadi yang liat, ulet, tahan banting, dan mampu menemukan kesempatan di balik setiap kesempitan. Perubahan-perubahan yang ada, justru menjadi tempat untuk berselancar ke tempat-tempat baru, menuju keterampilan-keterampilan baru dan keahlian-keahlian baru.
Untuk meningkatkan pembangan pertumbuhan soft skills yang optimal, Indra Dewanto yang merupakan Leadership & Business Coach menyediakan pelatihan secara offline ataupun online, info selengkapnya dapat di lihat di https://indradewanto.com/events/
Jangan lupa follow Instagram kami https://www.instagram.com/energipersona/