Karena berbagai persepsi dan pandangan yang belum lengkap, sering kali muncul banyak sekali mitos tentang coaching.
Tentu, tidak menjadi masalah bila mitos tersebut adalah mitos yang positif dan memberdayakan.
Celakanya, mitos-mitos tersebut sebagian besar tidak membuat orang untuk berpandangan positif tentang coaching dan tidak menggerakkan mereka untuk menjadi coach yang handal.
Saya akan menguraikan empat mitos, juga sekaligus dengan fakta-fakta yang ada, sejalan dengan pengetahuan dan pengalaman yang saya dapatkan, juga dari rekan-rekan coach yang lain.
Dengan melakukan coaching berarti kita membantu orang lain. Mitos inilah yang awalnya benar-benar saya yakini, dan membuat saya ingin menjadi superhero bagi anak buah dan klien-klien saya.
Saya ingin membantu mereka, saya ingin mengubah mereka, saya ingin mengajak mereka ke “jalan yang benar”, begitu dalam hati saya ketika itu.
Faktanya, saya menemukan bahwa dengan melakukan coaching ternyata saya membantu diri sendiri. Ketika seorang anak buah sudah berhasil saya coaching, anak buah tersebut akan menjadi pribadi yang lebih baik, berkinerja lebih tinggi, dan berani mengambil inisiatif. Tentu Anda memahami mempunyai anak buah seperti itu akan membuat pekerjaan Anda sebagai pimpinan lebih ringan.
Anda tidak perlu berulang kali memberikan briefing dan petunjuk kepadanya. Anda cukup memberikan satu atau dua kali petunjuk, setelah Anda dapat meyakini bahwa tugas dan pekerjaan akan dapat dibereskan olehnya. Pada titik tertentu, Anda juga dapat melakukan proses delegasi kepadanya. Dan ketika ini semua sudah terjadi, Anda akan mempunyai waktu lebih banyak untuk memikirkan hal-hal lain yang lebih strategis di perusahaan, tidak melulu terlarut pada tugas-tugas kecil di lapangan.
Mitos kedua mengatakan untuk dapat melakukan coaching secara efektif kita perlu memahami orang lain dengan baik. Jika melihat kondisi di lapangan, hanya saja ada fakta lain yang perlu ditambahkan lagi bahwa dalam proses coaching ternyata saya juga perlu memahami diri sendiri. Jadi, bukan hanya memahami orang lain, saya pun perlu memahami diri sendiri sebelum dapat tampil sebagai coach yang handal.
Saat proses coaching berlangsung, saya beberapa kali tidak dapat tampil dengan coach position yang tepat. “Topi” coach yang seharusnya saya pakai sering kali tertukar dengan topi mentor, atau bahkan topi atasan, yang selalu ingin menasihati, mengarahkan, dan memberikan petunjuk.
Saya juga perlu memahami diri saya yang kadang-kadang tidak sabar dengan jalan pikiran coachee, dan tidak sabar dengan proses eksplorasi yang sedang dijalankan oleh coachee. Pada akhirnya, melakukan coaching membuat saya perlu lebih memahami diri sendiri.
Mitos ketiga mengatakan coaching membutuhkan waktu yang lama, mungkin bisa 2 sampai 3 jam. Membayangkan hal ini, hampir semua atasan merasa sulit memberikan waktunya untuk melakukan coaching. “Banyak tugas lain yang lebih penting, Pak, daripada sekedar coaching”, demikian kata Anton, salah seorang manager di perusahaan multi finance.
Faktanya, proses coaching itu sendiri bisa berjalan lebih singkat. Rata-rata proses coaching yang saya lakukan, one-on-one coaching, hanya memakan waktu 30 hingga 45 menit. Memang, dalam beberapa kasus, ada yang hingga 60 menit atau lebih, tetapi sebagian besarnya ada di 30 hingga 45 menit.
Pengalaman juga menunjukkan, setelah 60 menit dialog yang terjadi sering kali menjadi tidak fokus, dan coachee sendiri sudah lelah secara mental ( meski hanya “sekedar” dialog, Anda akan mendapati bahwa dalam proses coaching ada energi yang cukup banyak terpakai ).
Tentu saja, penggunaan waktu yang optimal dalam coaching membutuhkan ketrampilan dan jam terbang coaching yang tinggi. Ketika seorang atasan belum cukup trampil sebagai coach, maka akan banyak sekali waktu yang terbuang sia-sia dan di akhir sesi coaching tidak ada komitmen yang terbentuk. Atasan tersebut perlu banyak menambah jam terbang, atau kembali memperdalam ilmu tentang coaching.
Apakah 30 menit merupakan waktu yang lama, atau waktu yang pendek? Hal ini tergantung persepsi dan sudut pandang masing-masing orang. Namun bila dibandingkan dengan besarnya manfaat yang didapatkan, saya meyakini Anda dapat membuat pilihan yang tepat, yang lebih bermanfaat untuk diri Anda dan tim Anda.
Mitos keempat mengatakan coaching hanya berbicara masalah pekerjaan, atau isu-isu di kantor saja. Tidak akan ada hal-hal pribadi yang akan diangkat dalam proses coaching.
Faktanya, dalam aktifitas setiap karyawan, pekerjaan tidak dapat dilepaskan dari hal-hal pribadi yang mereka jalankan, seperti keluarga, anak, istri, tanggung jawab sosial, maupun hal lainnya. Sehingga dalam proses coaching sering kali juga muncul hal-hal seperti itu.
Yang menarik di sini, saat seseorang sudah dapat melihat keseluruhan hidupnya, dia mulai dapat berpikir secara holistik, secara lebih menyeluruh, dan tidak lagi melepaskan isu pekerjaan dari isu pribadi, maupun sebaliknya. Dan saat coachee sudah dapat mempunyai pandangan akan hal itu, solusi yang akan dia dapatkan dalam proses coaching juga akan lebih mendalam dan paripurna.
Bila kita melihat kembali uraian tentang mitos-mitos coaching di atas, jelas sekali bahwa sebagian besar mitos tersebut menciptakan persepsi yang kurang tepat tentang coaching. Fakta-fakta bercerita sebaliknya. Setelah memahami penjelasan dan fakta-fakta yang ada, tentu sekarang Anda mulai bersiap untuk menjadi coach yang handal.
Ketika Anda sudah memutuskan untuk bersiap menjadi coach yang handal, kita akan melihat prinsip-prinsip coaching di bab berikutnya. Prinsip-prinsip ini akan memandu Anda dengan lebih mudah untuk memperlancar proses coaching yang Anda jalankan.
Untuk meningkatkan pembangan pertumbuhan soft skills yang optimal, Indra Dewanto yang merupakan Leadership & Business Coach menyediakan pelatihan secara offline ataupun online, info selengkapnya dapat di lihat di https://indradewanto.com/events/
Jangan lupa follow Instagram kami https://www.instagram.com/energipersona/
Fill the Form to Download